Sabtu, 21 November 2009
Pengembangan Kompetensi Guru
KKG Butuh Penguatan sebagai Wadah Pengembangan Kompetensi Guru
Oleh : Jusman Mansyur*)
UNDANG-undang No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen menegaskan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Agar dapat menjalankan fungsinya, guru dituntut memiliki kompetensi, yaitu seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi professional. Dalam UU tersebut, secara eksplisit disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban:
a) merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran;
b) meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan melalui pembinaan dan pengembangan profesi dan karier.
Pengembangan profesi guru melalui pendidikan profesi dalam rangka pengembangan kualifikasi akademik untuk saat ini cukup terbantu dengan disediakannya dana penyelenggaran pendidikan kualifikasi untuk guru yang belum sarjana, program sertifikasi dan kesempatan untuk mengikuti pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Bagaimana dengan pengembangan profesi melalui pembinaan berkelanjutan? Jawaban atas pertanyaan ini cukup banyak, misalnya peningkatan kualitas peran supervisi akademik oleh pengawas dan kepala sekolah, in-service training, kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Kelompok Kerja Guru (KKG) dan peran organisasi profesi.
Berkenaan pembinaan berkelanjutan dan dihubungkan dengan program sertifikasi guru, penulis ingin mengajukan kembali pertanyaan yang pernah dimuat di kolom opini harian ini. Setelah guru (atau dosen) mendapatkan sertifikat profesi, selanjutnya bagaimana? Apakah cukup berhenti pada diterimanya gaji yang lebih besar daripada yang pernah diterima sebelum mendapat sertifikat? Harapan pemerintah dan masyarakat terhadap guru terutama yang telah meraih sertifikat profesi begitu besar, bahkan mungkin sesama guru. Tulisan ini bukan untuk memprovokasi apalagi memicu rasa iri guru yang belum mengikuti program sertifikasi, tetapi sekedar mengingatkan kembali bahwa harapan itu pasti semakin besar. Artinya, kita (guru) harus lebih meningkatkan kapasitas dan kredibilitas (kompetensi) kita dalam mengemban amanah. Caranya? Ya, melalui pembinaan berkelanjutan yang disebutkan di atas. Mengenai hal ini ditinjau satu hal yang dapat dijadikan wadah bagi guru dalam mengembangkan kompetensinya, yakni KKG.
KKG adalah salah satu wadah guru Sekolah Dasar (MGMP bagi guru sekolah lanjutan) dalam mengembangkan kompetensinya melalui kerjasama, diskusi, sharing pengalaman dalam mempersiapkan pembelajaran dan mengatasi masalah pembelajaran di kelas. Tujuan utama KKG pada aspek kualitas pembelajaran, bukan sekadar atau terkesan menjadi (mohon maaf) ’ajang kumpul’ bagi guru. Adakah KKG seperti itu? Mudah-mudahan tidak ada (lagi). KKG adalah wadah pembinaan. Pembinaan oleh siapa? Oleh sesama guru, pengawas dan kepala sekolah, bahkan pihak-pihak lain seperti widiaiswara LPMP dan dosen LPTK. Bagaimana pelaksanaan KKG agar lebih bermakna bagi guru?
Salah satu model KKG yang dapat dijadikan contoh adalah KKG IPA yang dikembangkan oleh SEQIP (Science Education Quality Improvement Project). Dalam KKG SEQIP, masalah-masalah yang dihadapi seorang guru ketika di kelas, pengelolaan percobaan kelas, penggunaan peralatan IPA, cara menggali apersepsi, cara memberi motivasi, mengambil kesimpulan dari data percobaan, menyusun rencana pembelajaran sampai pembelajaran sebaya (peer teaching) dibahas bersama oleh guru dan narasumber (misalnya kepala sekolah dan/atau pengawas). Slogan yang dianut adalah: ”maju bersama dalam gugus”.
Mungkin pelaksanaan KKG SEQIP ada kekurangannya, tetapi yang menjadi persoalan bukan pada kekurangan itu, melainkan bagaimana KKG tersebut dapat berlangsung secara rutin. Hal ini merupakan tantangan bagi gugus yang telah tersentuh oleh program SEQIP, tantangan bagi para Pemandu Bidang Studi (PBS), kepala sekolah dan pengawas yang pernah dilatih. Keberhasilan jangka panjang program SEQIP diletakkan pada bagaimana KKG dapat terlaksana secara berkesinambungan. Patut dicontoh, pada salah satu kecamatan di kota Palu (Palu Timur), gugus SEQIP telah ’menggandeng’ gugus lain untuk terlibat dalam program mereka. Ini atas dukungan kepala UPTD-nya. Di Kabupaten Donggala ada PBS yang telah berkiprah lebih jauh, menjadi instruktur di kecamatannya. Ini juga atas dukungan kepala sekolah, pengawas dan Kepala Cabang Dinas. Bahkan, pola pembelajaran IPA yang dikembangkan oleh SEQIP telah diadopsi dan diadaptasikan ke mata pelajaran lain. Hal ini sangat menggembirakan, tentu keberhasilannya perlu dievaluasi. Pertanyaan mendasarnya: bagaimana dengan gugus SEQIP yang lain? Pertanyaan ini tidak akan dijawab, sekedar ingin mengingatkan teman-teman PBS, para kepala sekolah dan pengawas yang pernah dilatih ataupun yang tidak pernah dilatih tetapi mengampu gugus SEQIP serta pihak terkait lainnya bahwa program atau proyek ini menyerap dana masyarakat (melalui APBN) yang relatif besar. Dana itu digunakan untuk membeli peralatan SEQIP, melatih kepala sekolah, pengawas, PBS, dan guru-guru di gugus. Dampak dari penggunaan dana itu harus dirasakan oleh masyarakat (dalam hal ini, siswa kita), yakni mereka mendapatkan pembelajaran yang bermakna untuk masa depan mereka—dari guru yang senantiasa mengembangkan kompetensinya.
Jika KKG macet—ini yang sangat dikhawatirkan—berarti tamat riwayat SEQIP di gugus itu. Jika itu terjadi, apakah kita harus menunggu lagi ’proyek’ lain ’jatuh’ di gugus kita? Mudah-mudahan tidak seperti itu. Kita mengharapkan para kepala sekolah, pengawas, dan Kepala Cabang Dinas dapat memberi dukungan bagi guru-guru untuk tetap mengaktifkan kegiatan KKG mereka sebagaimana contoh yang disebutkan di atas. Pihak terkait (Dikjar Propinsi) yang menjadi pelaksana program ini juga diharapkan memberi dukungan, minimal mengevaluasi dan memonitoring keberlanjutan program ini pasca proyek selesai (dana habis).
Agar sustainibilitas program dapat terjaga, mesti dipikirkan dan diterapkan semacam ’program pasca program’. Tentu ini tidaklah mudah, tetapi juga tidak sulit amat. Dibutuhkan adanya sinergi dan komitmen semua pihak. Komitmen untuk lebih memberdayakan guru, komitmen memajukan pendidikan kita. Penulis yakin, pasti kita punya dan kita bisa!!!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar